27 Oktober 2008

Concrete measures necessary in controlling dengue in South East Asia

South-East Asian countries must take concrete measures immediately in order to control the spread of dengue. The severity of the public health threat from dengue led to its inclusion in one of the resolutions adopted at the 61st Session of the Regional Committee Meeting of the World Health Organization’s South-East Asia Region in September 2008.

“We urge our Member States to take tangible steps towards implementing the Asia-Pacific Dengue Strategic plan, especially in the area of strengthening the system for prediction, early detection, cross-border surveillance, preparedness and early response to outbreaks of Dengue,” said Dr Samlee Plianbangchang, WHO Regional Director for South-East Asia.

“An effective approach must include community ownership, inter sectoral collaboration and coordination across relevant ministries for the effective implementation of prevention and control of this vector-borne disease.”

“WHO will provide the technical support to Member States in implementing this plan especially in the areas of assessing and monitoring the impact of climate change, in prioritizing operations research to support evidence-based policy decisions and effective preventive interventions. We will also facilitate research and development of a dengue vaccine for children,” Dr Plianbangchang said.

The Asia Pacific Dengue Strategic Plan (2008-2015) is meant to aid countries in reversing the rising trend of dengue by enhancing their preparedness; enable them to promptly detect, characterize and contain outbreaks; and limit the spread of dengue.

The situation across this Region is a concern to the World Health Organization. The transmission season for dengue in India, particularly Delhi, began in August, and is expected to peak in October and November. Indonesia has shown a gradual increase of reported cases since 2000 with the most number of cases reported in 2007 (over 150,000). It is likely that the figures for 2008 will edge close to last year’s as dengue is transmitted year-round in Indonesia, with a tendency to peak between December and February. The Maldives and Sri Lanka usually see an increase in the number of dengue cases between May and June and again from November to December.

Currently about 75% of the population in the Asia-Pacific region is at risk of Dengue. Dengue is a man-made problem which is linked to rapid unplanned and unregulated urban development, improper water storage and other conditions that provide breeding grounds for the mosquito. Movement of people to and from urban areas is another major factor.

The dengue virus spreads through the bite of the infectious female Aedes mosquito, primarily Aedes aegypti which breeds in artificial containers and improperly disposed of wastes where clean or clear water stagnates. Because dengue depends on such environmental factors, prevention is the key to effective control. Surveillance of vectors and the disease are both very critical because outbreaks of dengue are generally preceded by increased vector breeding in local areas.
Press Releases WHO (http://www.searo.who.int)

Surveilans Terpadu Biologi Dan Perilaku (STBP) Dalam Pemantauan Prevalensi HIV

Untuk melakukan pemantauan terhadap peningkatan prevalensi HIV, pemerintah telah membuat suatu strategi yang dinamakan Surveilans Terpadu Biologi dan Perilaku (STBP), merupakan strategi gabungan antara surveilans perilaku, surveilans sero sentineil dan survei IMS (Infeksi Menular Seksual).

Pelaksanaan survey/STBP di Indonesia pertama kali dilakukan di Papua tahun 2006. Hasil STBP Papua telah dipublikasikan awal tahun 2007 dan dipakai untuk pengembangan Program Intensifikasi Penanggulangan HIV/AIDS di Papua. Selanjutnya STBP dilaksanakan bulan Agustus sampai Desember 2007 oleh Ditjen PP&PL Depkes dan BPS, dibantu pakar nasional surveilans HIV dan konsultan Internasional dari Family Health International atau Aksi Stop AIDS di 8 provinsi yaitu Jawa Timur (Surabaya, Malang, Banyuwangi), DKI Jakarta, Jawa Tengah (Semarang), Jawa Barat (Bandung, Bekasi), Sumatera Utara (Medan), Kepulauan Riau (Batam), Papua (Jayapura) dan Papua Barat (Sorong).

Sasaran dari pelaksanaan survey adalah kelompok berisiko tinggi seperti Pengguna Napza Suntik (Penasun), Pekerja Seks (Pria&Wanita), Waria, Lelaki Suka Lelaki, dan Lelaki Berisiko Tinggi (pengemudi truk, tukang ojek, tenaga kerja bongkar muat barang/TKBM, dan anak buah kapal/ABK). Sebagian besar dari kelompok berisiko tinggi tersebut berusia muda (20-30 tahun) dan terinfeksi HIV.
Adapun tujuan umum pelaksanaan STBP adalah untuk mengukur prevalensi Infeksi Menular Seksual (Neisseria gonorrhoeae, Chlamydia trachomatis, Treponema pallidum), prevalensi HIV dan kecenderungan perilaku berisiko pada kelompok berisiko tinggi di 8 provinsi tersebut diatas. Sedangkan tujuan khususnya antara lain adalah mengukur hubungan pengetahuan, sikap dan perilaku berisiko dengan prevalensi HIV dan IMS.

Menurut dr.Tjandra Yoga, angka prevalensi HIV secara umum di Indonesia masih cukup rendah (0,16%). Namun, sejak tahun 1990 prevalensi HIV pada kelompok berisiko tinggi mengalami peningkatan.
Kelompok pengguna Napza suntik (penasun) yang terinfeksi HIV dan berinteraksi dengan kelompok lainnya memberikan kontribusi terhadap peningkatan prevalensi HIV pada kelompok berisiko tinggi. Hasil Estimasi 2006 menunjukkan bahwa perkiraan jumlah Penasun saat itu adalah 219.000 orang, Wanita Pekerja Seks sebesar 221.000 orang dan pelanggan 3.160.000 orang. Apabila interaksi diantara kelompok berisiko tinggi dengan pelanggan yang merupakan “bridging population”, maka kemungkinan besar terjadi peningkatan prevalensi HIV baik di kelompok Risiko Tinggi maupun yang tidak berisiko tinggi (istri dari pelanggan seks komersial, pasangan penasun, bayi/anak pasangan terinfeksi HIV dll).

Angka prevalensi HIV wanita penjaja seks (WPS) tertinggi terdapat di Papua 15,9%, berikutnya Bali 14,1%, Batam 12,,3%, Jawa Barat 11,6%, Jakarta 10,2%, Jawa Tengah 6,6%, Jawa Timur 6,5%, dan Medan 6,1%. WPS yang terkena infeksi menular seksual seperti klamidia, gonore dan sipilis memiliki risiko lebih besar untuk menularkan maupun tertular HIV. Di Jakarta (60%) dan Jawa Timur (36%) WPS telah terinfkesi setidaknya satu dari ketiga IMS tersebut, jelas dr. Tjandra.

Kelompok pria berisiko tinggi (dilihat dari segi pekerjaan) seperti tukang ojek, supir truk, pelaut, dan pekerja pelabuhan, sebagian besar statusnya menikah (80%) dan mempunyai banyak pasangan seks. Prevalensi HIV tertinggi terdapat di Papua (3% pada pekerja pelabuhan) dan (1% tukang ojek). Sedangkan di luar Papua (0,5% anak buah kapal) dan (0,2% supir truk) terinfeksi HIV. Prevalensi klamidia dan gonore sangat tinggi di wilayah Papua, sedangkan sipilis prevalensinya sangat tinggi di semua wilayah.

Dr. Tjandra Yoga menambahkan, berdasarkan hasil estimasi tahun 2006, jumlah waria di Indonesia sekitar 20.960 hingga 35.300. Angka prevalensi HIV pada waria sangat tinggi di Jakarta (34%), Surabaya (25,2%) dan Bandung (14%). Prevalensi IMS sangat tinggi di wilayah Bandung, gonore 37,4%, klamidia 34,5%, sipilis (25,2%), Surabaya (33,7%) klamidia, (28,8%) sifilis, (19,8%) gonore, sedangkan di Jakarta (29,8%) gonore, 25,2% sipilis, 22,7% klamidia.

Kelompok pengguna napza suntik (penasun) merupakan kelompok yang sangat berisiko penularan HIV karena perilaku penggunaan jarum suntik secara bergantian. Angka prevalensi HIV pada penasun cukup tinggi di Surabaya (56%), Medan (56%), Jakarta (55%), dan Bandung (43%). Prevalensi IMS sangat tinggi di Jakarta (6,0%) klamidia, (1,3%) gonore, (0,8%) sifilis, disusul Surabaya (5,7%) klamidia, (1,2%) gonore, (1,6%) sifilis, sedangkan di Medan (5,3%) klamidia dan (2,4%) sifilis.
Sedangkan kelompok LSL (laki-laki suka laki), prevalensi HIV tertinggi di Jakarta (8,1%), Surabaya (5,6%), dan Bandung (2,0%). Untuk prevalensi IMS terbagi menjadi IMS rektal dan urethra. IMS rektal tertinggi di Surabaya (33,6%), Jakarta (33,2%) dan Bandung (29,3%) sedangkan IMS urethra tertinggi di Jakarta (8,4%), Surabaya (5,2%) dan Bandung (5,2%).

Menurut Dr. Nafsiah Sekretaris KPA, pencegahan penularan HIV dilakukan dengan merubah norma dan perilaku laki-laki, karena sebagian besar kelompok berisiko tinggi adalah laki-laki (waria, lelaki suka lelaki, lelaki pekerja seks). Selain itu, upaya juga difokuskan pada generasi muda yang berperilaku berisiko tinggi.
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan.

24 Oktober 2008

Lumpuh tidak selalu Polio

"Gara-gara lumpuh layuh, semua orang jadi membenci polio ya Ma," bisik Angel kepada ibunya, saat menemani adiknya imunisasi polio. Ibu Angel, yang kebetulan seorang dokter, tersenyum lebar. "Angel, sebenarnya banyak penyakit lain yang bisa membuat anak-anak lumpuh layuh. Semuanya berbahaya. Tapi penyebab terbesarnya memang polio. Itu sebabnya, banyak orang menyalahkan dan membenci polio," kata ibunya bijak.

Lumpuh layuh mengacu pada istilah kedokteran acute flaccid paralysis. Akut (acute) merujuk pada penyakit-penyakit mendadak, seketika, atau jangka pendek. Gejalanya biasanya parah atau berat. Flaccid melukiskan keadaan otot yang tidak memiliki ketegangan (tonus) sama sekali, sedangkan paralysis berarti kelumpuhan.

Jadi, lumpuh layuh bisa disebut sebagai kelumpuhan seketika, ditunjukkan dengan hilangnya ketegangan otot yang bersangkutan. Polio, kata ibu Angel, identik dengan lumpuh layuh, karena penularannya gampang. Virus yang menginfeksi manusia lewat pencernaan itu dapat masuk melalui makanan dan minuman terkontaminasi. Bahkan manusia adalah tempat tinggal alamiah utama mereka.

Polio Tak Terditeksi

Istilah lumpuh layuh sendiri mencuat sejak media gencar memberitakan serangan virus polio di Sukabumi, sekitar awal Mei 2005 lalu.
Serangan itu memupus ambisi Indonesia untuk mendapatkan sertifikasi bebas polio dari Badan Kesehatan Dunia (WHO). Secara fisik, virus polio memang sulit dideteksi, bahkan oleh mikroskop cahaya biasa. Ukurannya hanya 27 nanometer atau 0,000000001 m.

Penyakit yang disebabkan oleh rendahnya kualitas sanitasi ini masuk ke dalam tubuh mendompleng makanan atau minuman terkontaminasi, lalu memperbanyak diri dalam kelenjar getah bening di saluran pencernaan. Dalam membangun koloni, mereka membutuhkan suplai asam amino dan asam nukleat yang cukup. Untuk itu mereka merampok zat-zat itu dari sel-sel tubuh manusia.

Akibatnya, sel-sel tubuh yang dijarah tadi mati. Begitu seterusnya, setelah satu sel mati, virus polio merampok sel yang lain. Mereka mampu melakukan penyusupan ke sel-sel dalam jaringan kelenjar getah bening, jaringan otot, jaringan selaput otak, dan jaringan otak. Pada tahap awal, ketika virus memperbanyak diri dalam tonsil, jaringan yang dijajahnya itu akan membengkak, mirip "radang tenggorokan".

Dari tonsil, virus polio memperbanyak diri dalam kelenjar getah bening usus, menimbulkan mual atau muntah-muntah. Bila infeksi berlanjut, virus akan masuk ke peredaran darah (menyebabkan demam tinggi), lalu memperbanyak diri di jaringan otot. Dari jaringan otot, virus merambah sel saraf melalui ujung sel saraf, sebelum akhirnya menjalar ke inti sel saraf pusat di daerah tulang belakang. Pada tahap inilah kelumpuhan datang.

Imunisasi polio sangat dianjurkan, karena jika telanjur terserang virus polio, korban akan sulit diobati. Sampai saat ini, masih belum ada obat yang efektif untuk membunuh virus itu. Imunisasi hanya meningkatkan "kecerdasan" sistem kekebalan tubuh dalam mengenali virus polio. Semakin mudah virus dikenali, semakin gampang dia dibunuh.

Tiga sekawan dan rabies

Namun, apakah hanya virus polio yang dapat meng-hadirkan lumpuh Layuh ?
Seperti kata ibunya Angel, "Tidak." Ada banyak penyebab lain. Misalnya, infeksi yang disebabkan virus coxsakie A7, echovirus 3, dan enterovirus 71. Ketiga virus itu masih satu keluarga dengan virus polio, yakni kelompok virus enterovirus. Virus-virus jenis ini menginfeksi manusia melalui jalur saluran pencernaan atau masuk melalui mulut.

Secara medis, ketiga enterovirus itu dapat menyebabkan penyakit tangan, kaki, dan mulut (hand, foot, and mouth disease, HFMD). Gejala-gejalanya tampak pada daerah tangan, kaki, dan mulut. Di sekitar tangan dan kaki muncul kelainan kulit berupa ruam-ruam dan vesikel atau gelembung kecil berisi cairan. Di daerah mulut dan tenggorokan, vesikel-vesikel itu akan terasa menyakitkan. Kulit daerah tangan dan kaki serta permukaan rongga mulut pun seperti melepuh.

Sebenarnya, ada banyak tipe enterovirus yang dapat menyebabkan HFMD, tetapi ketiga virus tadi lebih sering menyebabkan lumpuh layuh.

Dari ketiga virus itu, enterpovirus 71 yang terganas. Namun secara umum, dampak serangan ketiga virus ini patut diwaspadai. Mereka menimbulkan wabah hebat di beberapa tempat, seperti Toronto (1959), California (1969), Bulgaria (1975), dan Hungaria (1978). Di Asia Tenggara, bom infeksi virus-virus ini pernah terjadi di Malaysia (1997) dan Taiwan. Sayangnya, belum ada data atau pencatatan secara resmi tentang sepak terjangnya di Indonesia.

Virus lain yang berpotensi menyebabkan lumpuh layuh ialah virus rabies. Sudah banyak orang tahu, virus rabies ditularkan melalui gigitan anjing. Meski sebenarnya, anjing bukan satu-satunya binatang pembawa rabies. Virus ini dapat juga ditularkan oleh kucing, kelelawar pengisap darah, rubah, dan serigala.

Seseorang yang tergigit anjing atau binatang lain yang telah terinfeksi virus rabies akan merasa baal di daerah tergigit. Hal itu karena virus rabies mengganggu saraf-saraf peraba di sekitar daerah itu. Melalui jaras-jaras saraf otot dari daerah yang tergigit, virus kemudian menjalar ke pusat persarafan di tulang belakang (korda spinalis), terus naik ke atas sampai akhirnya menyebabkan kelumpuhan pada otot-otot pernapasan, penelan, dan bicara.

Waktu yang diperlukan virus untuk menyebabkan gejala-gejala itu atau masa inkubasinya antara 4 - 12 minggu, sehingga masih ada waktu untuk diberikan imunisasi. Imunisasi rabies sebaiknya diberikan juga pada anjing peliharaan, agar kelak tak mencelakai sang tuan.

Sindrom Guillain-Barre

Di antara berbagai penyakit yang menyebabkan lumpuh layuh, sindrom Guillain-Barre (SGB) adalah penyakit yang paling sulit dibedakan dengan polio.
SGB merupakan sekelompok gejala atau sindrom berupa kelumpuhan, kerusakan saraf, dan jika parah bisa menimbulkan koma.

Gejala-gejala itu muncul pada penderita yang telah terinfeksi bakteri atau virus yang dicurigai. Singkatan SGB diambil dari nama para dokter yang pertama kali menemukan sindrom ini. Dua dokter Prancis, Georges Guillain dan Jean A. Barre pada 1916 melaporkan gejala kelumpuhan mirip polio pada para penderita yang baru saja mengalami perbaikan kondisi akibat terserang influenza.

Awal kelumpuhan terjadi di bawah, mengenai kaki (umumnya kedua tungkai), dan terus merembet ke atas, hingga menyebabkan gangguan pernapasan dan penurunan kesadaran. Keempat tungkai (kedua kaki dan kedua tangan) itulah yang berpeluang mengalami lumpuh layuh. Saraf yang diserang bukan hanya yang mempersarafi otot, tetapi bisa juga indera peraba. Akibatnya, penderita mengalami baal atau mati rasa.

SGB sempat mencuri perhatian masyarakat dunia, ketika pada 1976, pemerintah Amerika Serikat mengadakan program imunisasi massal terhadap influenza. Dari 46 juta orang yang diimunisasi, ternyata lebih dari 4.000 orang mengalami sindrom GBS. Meski jumlahnya tak seberapa dibandingkan dengan seluruh populasi yang mendapat imunisasi, tapi menimbulkan banyak tuntutan hukum akibat kelumpuhan yang berkaitan dengan program imunisasi itu.

Penderita SGB bisa sembuh secara spontan setelah 2 - 3 pekan. Kesembuhan ditunjukkan dengan pulihnya kekuatan otot, dimulai dari bagian atas. Otot-otot kaki biasanya pulih paling belakangan.

Myasthenia Gravis

Myasthenia artinya kelemasan pada otot, sedangkan gravis berarti berat atau parah. Jadi, dari namanya, penyakit ini menunjukkan gejala kelemasan berat pada otot.
Otot-otot penderita menjadi cepat lelah dan lemas secara tidak normal, setelah melakukan kerja fisik tertentu.

Penyakit ini masuk kategori kelainan autoimmune, akibat sistem kekebalan tubuh (antibodi) menyerang organ-organ tubuh sendiri. Antibodi seharusnya menyerang kuman penyakit dari luar, tapi pada myasthenia ia menyerang sambungan saraf-otot. Supaya otot berkontraksi, ujung serabut saraf melepaskan sinyal tertentu pada otot yang dituju.

Sinyal-sinyal yang dilepas itu berupa senyawa-senyawa kimia tertentu atau neurotransmitter. Nah, pada penyakit ini, reseptor-reseptor pada otot yang berfungsi menerima neurotrasmitter diblokade oleh antibodi itu sendiri. Hasilnya, otot yang bersangkutan tidak mampu berkontraksi dan menjadi lumpuh layuh. Kelemahan otot juga dapat mengenai otot pengunyah, otot penelan, dan otot bicara.

Bila penderita sering mengunyah, otot-otot pengunyahnya akan gampang kelelahan, sehingga mulut penderita menganga, tak sanggup menutup. Pada saat makan, penderita bisa saja terganggu karena kehilangan kemampuan untuk menelan makanan. Atau bila banyak berbicara, mendadak ia menjadi bisu.

Penderitaan lain, si penderita tidak bisa mengangkat tangannya lebih dari 1 - 2 menit. Meskipun kelumpuhan pertama-tama menyerang otot daerah kepala (mata, pengunyah, penelan, bicara), myasthenia juga bisa mengenai otot tungkai. Bila tidak ditangani dengan serius, ia bisa mengancam nyawa. Terutama bila yang diserangnya otot pernapasan.

Polio memang menjadi sorotan ketika banyak orang menderita lumpuh layuh, tapi seperti kata ibunya Angel, polio bukan satu-satunya tersangka.
(dr. Danny Pattirajawane)

09 Oktober 2008

Awas toksin ada di dekat kita

“ Jika timbunan toksin tidak dibersihkan, maka akan mengakibatkan iritasi, peradangan pada jaringan, dan menurunkan fungsi normal dari setiap organ tubuh “

Disadari atau tidak, dalam kehidupan sehari-hari banyak sekali kuman, racun (toksin) berada disekitar kita dan kita hidup bersama dengan mereka. “Ribuan hingga jutaan toksin berada di sekeliling kita dan siap melawan sistem kekebalan ubuh kita,” kata dr. M Rusmin, alumnus Fakultas Kedokteran, Yayasan Rumah Sakit Islam (YARSI), Jakarta.

Bila dibiarkan, lanjut Rusmin, racun-racun tersebut perlahan-lahan akan membahayakan kesehatan tubuh manusia.
Karyawan Dinas Kesehatan yang menjabat Kepala UPT di salah satu puskesmas di Pontang, Serang, Tangerang ini menjelaskan, toksinyang masuk kedalam tubuh menyebabkan tubuh mudah lelah, mudah sakit, wajah terlihat pucat, dan kurang bersemangat. “Toksin-toksin yang sering hinggap ditubuh manusia karena pengaruh lingkungan dan akibat gaya hidup yang tidak sehat.” Ujar pria kelahiran Padang pariaman, 22 Desember ini.

Rusmin menegaskan, orang yang tinggal dekat dengan tempat pembuangan limbah, kotor, asap atau emisi gas buangan kendaraan bermotor, sangat rawan terhadap serangan toksin. Selain itu, makanan yang dimakan juga bisa mengandung toksin yang dapat merusak sistem kekebalan tubuh.

Begitu juga dengan obat farmasi. Apabila sulit diproses didalam tubuh, obat-obatan farmasi lama-lama akan menjadi racun didalam darah. Dampaknya akan merusak organ penting didalam tubuh.

Namun, ungkap Rusmin, dari semua itu gaya hidup manusia memiliki pengaruh yang besar terhadap serangan toksin. “orang yang terbiasa merokok dan terkena asap rokok besar kemungkinan terkena serangan penyakit jantung, kanker paru-paru, dan lainnya yang diakibatkan dari pengaruh toksin-toksin yang terdapat didalam rokok,”jelas Rusmin.

Toksin yang sebagian besar larut kedalam lemak, bila mengalami akumulasi dalam otak dan kelenjar endokrin, maka dapat menimbulkan disfungsi otak dan gangguan hormon (kesuburan).

Rusmin mengungkapkan, jika timbunan toksin tidak dibersihkan maka akan mengakibatkan iritasi, peradangan pada jaringan, menurunkan fungsi normal dari setiap organ tubuh. Selain itu juga akan merusak proses metabolisme tubuh dan menimbulkan beragam penyakit berbahaya, seperti alergi, asma, keterbelakangan mental, jantung, dan kanker.

“ Menetralkan racun .........

Tubuh manusia memiliki mekanisme detoksifikasi yang mengeluarkan racun-racun dari dala tubuh. Tuhan telah menciptakan liver sebagai pusat detoksifikasi alamiah yang mampu menetralisasikan semua racun didalam tubuh. Liver, organ paling utama dalam proses detok didalam tubuh, melakukan detoksifikasi setiap hari.

Ada dua fase proses detox, pertama liver mengubah sifat racun dari toksin atau dinetralkan. Kedua, toksin yang telah dinetralkan diubah sifat senyawanya sehingga larut dalam air dan dibuang keluar tubuh lewat urine dan keringat.

Tapi, kerja liver ini bisa terganggu jika racun terlalu banyak mengendap ditubuh kita. Akibatnya, fungsi liver bisa menurun. Tanda-tanda menurunnya fungsi liver, antara lain ditandai dengan tubuh mudah lelah, mual, kembung, beratbadan naik, asam urat naik, kadar kolesterol tinggi, masuk angin, kram, mudah lapar, hingga otot-otot terasa pegal.

Bila gejala-gejala seperti itu dibiarkan saja tanpa ada upaya untuk memperbaiki fungsi liver, dampaknya bisa memunculkan penyakit degeneratif, seperti kanker, pengerasan liver, kencing manis, darah tinggi, jantung koroner, stroke, dan penuaan dini.

Para pakar kesehatan mengemukakan kesehatan tubuh itu sebenarnya berawal dari usus besar yang sehat. Pola makan dan pola hidup yang tak sehat akan menyisakan kerak yang menempel di dinding usus besar.

Selama kerak didinding usus besar tidak dibersihkan, proses penyerapan racun akan terus berlangsung. Selanjutnya, racun akan masuk ke pembuluh darah dan membebani kerja liver sebagai pusat metabolisme yang bekerja membongkar semua sampah.

Meski secara alamiah tubuh manusia mampu melakukan detox setiap hari, kemampuan tubuh manusia untuk membuang toksin terbatas. Ditambah lagi jika gaya hidup tidak sehat dan lingkungan tempat tingal banayk polusi, kemampuan liver untuk melakukan detoksifikasi semakin tidak optimal.

Untuk mengoptimalkan kerja liver dalam melakukan detoksifikasi itu bisa dibantu dengan mengonsumsi makanan tambahan/suplemen.Produk makanan tambahan itu untuk mengoptimalkan kerja liver. Namun, menerapkan “ Gaya Hidup Sehat “ jauh lebih penting agar tak banyak jumlah racun yang masuk ke tubuh kita.
Sumber : Republika

Cuci tangan, penting kah?

Cuci tangan perlu menjadi gaya hidup. Pasalnya dari kebiasaan sederhana ini kualitas kesehatan kita pun bakal meningkat. Kebiasaan ini penting dimulai sejak kanak-kanak.

"Lebih sulit mengubah kebiasaan orang daripada memulai menumbuhkan kebiasaan mencuci tangan," jelas Dr. Handrawan Nadesul, di Jakarta, Kamis (18/9).

Kata Hans, begitu dokter ini kerap disapa, ada banyak penyakit yang bisa ngendon dalam tubuh kita bila kerap lalai mencuci tangan. Mulai dari bisul, jerawat, tifus, leptospirosis, jamur, polio, disentri, diare, kolera, cacingan, hepatitis A, SARS hingga flu burung.

Penyakit-penyakit ini dengan mudah memasuki tubuh lewat tangan yang tercemar kuman, virus, parasit. Entah saat memegang pintu, memijit tombol lift, bersalaman, memegang uang, kursi atau barang apa saja.

Dari tangan yang tercemar, kuman masuk ke mulut lewat makanan yang kita pegang. Jadi tangan menjadi jembatan tersebarnya kuman dari kotoran atau tinja ke mulut.

"Karena itu penyakit-penyakit seperti gastroenteritis, kolera, disentri, tifus, cacingan, hepatitis A, leptospirosis, polio dan candidiasis disebut sebagai infeksi fecal-oral. Fecal itu tinja dan oral itu mulut." jelas Hans.

Beban ongkos gara-gara menyelepekan kebiasaan ini cukup besar. Cacingan misalnya. Kasus cacingan yang kerapkali menyerang anak usia 5 hingga 14 tahun ini menghabiskan biaya pengobatan hingga 30-33 miliar per tahun. "Itu menurut data dari WHO," jelas Hans.P

adahal angka kasus diare di Indonesia mencapai 301 per 1.000 penduduk dan angka tifus mencapai 300-810 per 1.000 penduduk. Masih ditambah dengan kasus lainnya. Akibat sanitasi yang buruk dan kebiasaan yang tidak sehat ini ongkos yang dibuang Pemerintah Indonesia setiap tahunnya menurut WHO mencapai 6 miliar dolar Amerika.
(www.promosikesehatan.com)