Untuk melakukan pemantauan terhadap peningkatan prevalensi HIV, pemerintah telah membuat suatu strategi yang dinamakan Surveilans Terpadu Biologi dan Perilaku (STBP), merupakan strategi gabungan antara surveilans perilaku, surveilans sero sentineil dan survei IMS (Infeksi Menular Seksual).
Pelaksanaan survey/STBP di Indonesia pertama kali dilakukan di Papua tahun 2006. Hasil STBP Papua telah dipublikasikan awal tahun 2007 dan dipakai untuk pengembangan Program Intensifikasi Penanggulangan HIV/AIDS di Papua. Selanjutnya STBP dilaksanakan bulan Agustus sampai Desember 2007 oleh Ditjen PP&PL Depkes dan BPS, dibantu pakar nasional surveilans HIV dan konsultan Internasional dari Family Health International atau Aksi Stop AIDS di 8 provinsi yaitu Jawa Timur (Surabaya, Malang, Banyuwangi), DKI Jakarta, Jawa Tengah (Semarang), Jawa Barat (Bandung, Bekasi), Sumatera Utara (Medan), Kepulauan Riau (Batam), Papua (Jayapura) dan Papua Barat (Sorong).
Sasaran dari pelaksanaan survey adalah kelompok berisiko tinggi seperti Pengguna Napza Suntik (Penasun), Pekerja Seks (Pria&Wanita), Waria, Lelaki Suka Lelaki, dan Lelaki Berisiko Tinggi (pengemudi truk, tukang ojek, tenaga kerja bongkar muat barang/TKBM, dan anak buah kapal/ABK). Sebagian besar dari kelompok berisiko tinggi tersebut berusia muda (20-30 tahun) dan terinfeksi HIV.
Adapun tujuan umum pelaksanaan STBP adalah untuk mengukur prevalensi Infeksi Menular Seksual (Neisseria gonorrhoeae, Chlamydia trachomatis, Treponema pallidum), prevalensi HIV dan kecenderungan perilaku berisiko pada kelompok berisiko tinggi di 8 provinsi tersebut diatas. Sedangkan tujuan khususnya antara lain adalah mengukur hubungan pengetahuan, sikap dan perilaku berisiko dengan prevalensi HIV dan IMS.
Menurut dr.Tjandra Yoga, angka prevalensi HIV secara umum di Indonesia masih cukup rendah (0,16%). Namun, sejak tahun 1990 prevalensi HIV pada kelompok berisiko tinggi mengalami peningkatan.
Kelompok pengguna Napza suntik (penasun) yang terinfeksi HIV dan berinteraksi dengan kelompok lainnya memberikan kontribusi terhadap peningkatan prevalensi HIV pada kelompok berisiko tinggi. Hasil Estimasi 2006 menunjukkan bahwa perkiraan jumlah Penasun saat itu adalah 219.000 orang, Wanita Pekerja Seks sebesar 221.000 orang dan pelanggan 3.160.000 orang. Apabila interaksi diantara kelompok berisiko tinggi dengan pelanggan yang merupakan “bridging population”, maka kemungkinan besar terjadi peningkatan prevalensi HIV baik di kelompok Risiko Tinggi maupun yang tidak berisiko tinggi (istri dari pelanggan seks komersial, pasangan penasun, bayi/anak pasangan terinfeksi HIV dll).
Angka prevalensi HIV wanita penjaja seks (WPS) tertinggi terdapat di Papua 15,9%, berikutnya Bali 14,1%, Batam 12,,3%, Jawa Barat 11,6%, Jakarta 10,2%, Jawa Tengah 6,6%, Jawa Timur 6,5%, dan Medan 6,1%. WPS yang terkena infeksi menular seksual seperti klamidia, gonore dan sipilis memiliki risiko lebih besar untuk menularkan maupun tertular HIV. Di Jakarta (60%) dan Jawa Timur (36%) WPS telah terinfkesi setidaknya satu dari ketiga IMS tersebut, jelas dr. Tjandra.
Kelompok pria berisiko tinggi (dilihat dari segi pekerjaan) seperti tukang ojek, supir truk, pelaut, dan pekerja pelabuhan, sebagian besar statusnya menikah (80%) dan mempunyai banyak pasangan seks. Prevalensi HIV tertinggi terdapat di Papua (3% pada pekerja pelabuhan) dan (1% tukang ojek). Sedangkan di luar Papua (0,5% anak buah kapal) dan (0,2% supir truk) terinfeksi HIV. Prevalensi klamidia dan gonore sangat tinggi di wilayah Papua, sedangkan sipilis prevalensinya sangat tinggi di semua wilayah.
Dr. Tjandra Yoga menambahkan, berdasarkan hasil estimasi tahun 2006, jumlah waria di Indonesia sekitar 20.960 hingga 35.300. Angka prevalensi HIV pada waria sangat tinggi di Jakarta (34%), Surabaya (25,2%) dan Bandung (14%). Prevalensi IMS sangat tinggi di wilayah Bandung, gonore 37,4%, klamidia 34,5%, sipilis (25,2%), Surabaya (33,7%) klamidia, (28,8%) sifilis, (19,8%) gonore, sedangkan di Jakarta (29,8%) gonore, 25,2% sipilis, 22,7% klamidia.
Kelompok pengguna napza suntik (penasun) merupakan kelompok yang sangat berisiko penularan HIV karena perilaku penggunaan jarum suntik secara bergantian. Angka prevalensi HIV pada penasun cukup tinggi di Surabaya (56%), Medan (56%), Jakarta (55%), dan Bandung (43%). Prevalensi IMS sangat tinggi di Jakarta (6,0%) klamidia, (1,3%) gonore, (0,8%) sifilis, disusul Surabaya (5,7%) klamidia, (1,2%) gonore, (1,6%) sifilis, sedangkan di Medan (5,3%) klamidia dan (2,4%) sifilis.
Sedangkan kelompok LSL (laki-laki suka laki), prevalensi HIV tertinggi di Jakarta (8,1%), Surabaya (5,6%), dan Bandung (2,0%). Untuk prevalensi IMS terbagi menjadi IMS rektal dan urethra. IMS rektal tertinggi di Surabaya (33,6%), Jakarta (33,2%) dan Bandung (29,3%) sedangkan IMS urethra tertinggi di Jakarta (8,4%), Surabaya (5,2%) dan Bandung (5,2%).
Menurut Dr. Nafsiah Sekretaris KPA, pencegahan penularan HIV dilakukan dengan merubah norma dan perilaku laki-laki, karena sebagian besar kelompok berisiko tinggi adalah laki-laki (waria, lelaki suka lelaki, lelaki pekerja seks). Selain itu, upaya juga difokuskan pada generasi muda yang berperilaku berisiko tinggi.
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar